Kamis, 14 Oktober 2010

KRISIS KEBUDAYAAN

DALAM kehidupan sehari-hari kita sesungguhnya senantiasa berurusan dengan kebudayaan atau dengan hasil-hasil kebudayaan. Setiap detik-menit-jam kita melihat, mempergunakan, bahkan disadari atau tidak seringkali merusak hasil kebudayaan itu sendiri. Sedemikian parahnya kerusakan itu sehingga belakangan ini sering muncul pertanyaan, apakah kita sedang mengalami krisis kebudayaan.
Namun di lain pihak, banyak orang yang tidak menyadari ihwal krisis kebudayaan tersebut. Hal itu disebabkan karena pada umumnya orang mengartikan kebudayaan sebatas kesenian seperti tari-tarian, lukisan, pergelaran drama, pakaian adat, tusuk konde, dan entah apa lagi. Itu pun dipersempit lagi dalam bingkai kepentingan industri pariwisata maupun perdagangan. Cara pandang serupa itu cenderung memperlakukan kebudayaan sebagai sesuatu yang statis dan pasif.
Padahal, kebudayaan memiliki arti dan makna yang lebih luas dan dinamis sebagai sebuah proses dari cara berpikir yang merepresentasikan seluruh pemikiran dan pengalaman manusia baik orang per orang maupun kolektif, beserta hasil-hasilnya yang berupa kebendaan (material) maupun yang bersifat kerohanian (immaterial). Betapa luas dan dinamisnya makna kebudayaan sehingga terdapat ratusan definisi tentang kebudayaan yang dikembangkan oleh para ahli antropologi.
Ditinjau dari sudut bahasa Indonesia, kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta buddhayah, yakni bentuk jamak dari budhi, yang berarti budi atau akal. Jadi kebudayaan adalah hasil budi atau akal manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup. Sedangkan istilah culture (Inggris), cultuur (Belanda), tsaqafah (Arab), berasal dari perkataan colere (Latin) yang berarti mengolah, mengerjakan, menyuburkan, dan mengembangkan tanah atau bertani. Dari asal kata tersebut kemudian diartikan sebagai segala daya dan kegiatan untuk mengolah dan mengubah alam.
Dari berbagai pengertiannya yang luas para ahli antropologi menyimpulkan adanya unsur-unsur kebudayaan yang universal (cultural universals), yaitu meliputi sistem religi dan upacara keagamaan, sistem kemasyarakatan (sosial politik), sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem ekonomi, serta sistem teknologi dan peralatan hidup.
Dengan demikian, dalam kehidupan nyata antara masyarakat dan kebudayaan tidak dapat dipisah-pisahkan dan selamanya merupakan dwi-tunggal. Ada manusia (masyarakat) ada kebudayaan. Dengan kata lain, tidak ada masyarakat yang tidak memiliki kebudayaan, begitu pula sebaliknya tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat sebagai wadah dan pendukungnya atau sebagai tanah tumbuhnya kebudayaan. Istilah cultural determinism, yang berarti segala sesuatu yang terdapat di dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri, merupakan sesuatu yang niscaya. Tak dapat disangkal.
Oleh karena itu, masyarakat dan kebudayaan merupakan suatu sistem, suatu keseluruhan dan kesatuan yang saling bergantung dan saling mempengaruhi. Antara masyarakat dan kebudayaan masing-masing berfungsi sebagai bagian-bagian dari satu keseluruhan yang saling berhubungan. Kebudayaan sebagai salah satu sumber utama dari sistem atau tata nilai yang dihayati dan dianut seseorang atau masyarakat, selanjutnya akan membentuk sikap mental atau pola berpikir.
Sikap mental dan pola berpikir itu menurut Alfian dalam bukunya Politik, Kebudayaan dan Manusia Indonesia (LP3ES, 1980) akan membentuk pola tingkah laku dalam berbagai aspek kehidupan yang pada gilirannya melahirkan sistem politik, sistem ekonomi, sistem sosial, karya-karya seni, buah-buah ilmu pengetahuan, teknologi, dan sebagainya. Dimana itu semua melukiskan corak dan mencerminkan kualitas kebudayaan itu sendiri.
Dari uraian tersebut tampaklah bahwa kebudayaan sesungguhnya memasuki berbagai (barangkali semua) segi kehidupan manusia dan masyarakat. Sejalan dengan itu, kebudayaan merupakan unsur utama dalam proses pembangunan diri manusia dan masyarakat. Pendekatan kebudayaan, dengan demikian, merupakan alternatif terbaik bagi pembangunan masyarakat, terutama masyarakat sedang berkembang yang masih dalam proses pembentukan watak dan kepribadiannya semisal Banten. Pengabaian hal tersebut dalam seluruh gerak pembangunan yang sibuk mencari laba dan kekuasaan akan menimbulkan berbagai krisis.
Fritjof Capra dalam bukunya The Turning Point : Science, Society and The Rising Culture (Titik Balik Peradaban, Bentang, 1997) mengemukakan bahwa munculnya berbagai krisis ekonomi, politik, kesehatan, sosial, lingkungan, dan sebagainya pada saat ini tiada lain hanyalah segi-segi berbeda dari sebuah krisis tunggal. Dinamika yang mendasari masalah-masalah tersebut sebenarnya sama, yakni krisis budaya yang multisegi. Krisis tersebut melanda dimensi-dimensi intelektual, moral, dan spiritual. Suatu krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam catatan sejarah umat manusia.
Apa yang terjadi dan masih sedang berlangsung di negeri ini, tak terkecuali di Banten yang tiga tahun terakhir ini naik status menjadi sebuah provinsi, seakan menegaskan apa yang dikemukakan Fritjof Capra. Kita lebih suka pengetahuan rasional ketimbang kearifan intuitif, lebih menyukai ilmu ketimbang agama, lebih suka bersaing dan menjegal ketimbang bekerjasama, lebih suka mengeksploitasi sumberdaya alam ketimbang melestarikannya, lebih suka mengeruk uang rakyat ketimbang mensejahterakan rakyat, lebih suka menghunus golok dan mengerahkan massa ketimbang
menggerakkan pena dan mengerahkan pemikiran, lebih suka menguasai dan menindas ketimbang memimpin dan membimbing, lebih suka yang dekoratif dan artifisial ketimbang yang substantif dan sejati, dan sebagainya dan seterusnya.
Celakanya, realitas semacam itu terus berlangsung dan berakumulasi dari hari ke hari sehingga menjelma menjadi sesuatu yang banal (biasa) dan arbitrary (semau-maunya) di tengah-tengah kesulitan hidup rakyat yang kian menghimpit. Apalagi para wakil rakyat yang seharusnya memahami dan menyuarakan penderitaan rakyat, justru tenggelam dalam pusaran krisis itu, terperosok dalam jurang penuh jaring-jaring manipulatif sekaligus menggadaikan amanah intelektualitas, moralitas, dan spiritualitas mereka sendiri secara telanjang. Komplitlah sudah krisis itu! Secara ekstrim, pada titik ini kebudayaan (meminjam istilah Emha Ainun Nadjib) telah “meninggal dunia”.
Dalam kondisi kebangkrutan atau keruntuhan budaya serupa itu yang kita butuhkan adalah tumbuhnya kebudayaan dengan semangat pembebasan untuk membentuk apa yang disebut oleh ahli sejarah budaya Theodore Roszak (1969) sebagai counter culture,budaya tandingan. Untuk itu, langkah pertama yang yang perlu dilakukan dan dilajukan adalah memperluas ruang-ruang yang memungkinkan lebih banyak orang terlibat dalam kerja-kerja kebudayaan, melakukan pencerahan bersama untuk menemukan insight-insight (keinsafan atau kebenaran) baru. Sehingga dapat meraih kembali suatu kondisi keseimbangan dinamis.
Menghadapi sebuah krisis kebudayaan memang memerlukan gerakan keinsafan baru dari seluruh individu untuk menciptakan kembali fleksibilitas budaya yang hilang. Sebab jika struktur sosial dan pola perilaku kita telah menjadi kaku akan menyebabkan ketidakmampuan menyesuaikan diri dengan situasi yang berubah. Pada saat itulah peradaban kita tidak akan mampu melanjutkan proses kreatif evolusi budayanya. Hancur dan mengalami disintegrasi.
Kerja kebudayaan memang harus dilakukan bersama dan di mana-mana pun. Tidak seharusnya hanya dipercayakan pada satu-dua orang “budayawan” yang paras sesungguhnya adalah “buayawan”. Apalagi diserahkan kepada pemerintah yang suka meletakkan kebudayaan sebagai subordinat dari unsur atau bagian daripadanya, misalnya kebudayaan dengan pariwisata atau dengan pendidikan, sebagaimana yang terjadi di bumi Banten. Kebudayaan yang maknanya dipersempit ini dengan sendirinya akan mempersempit wawasan berpikir dan pengetahuan kita sendiri. Tengoklah misalnya motto Banten “Iman dan Taqwa” yang berhenti sebatas lipstick, atau Asmaul Husna yang sekadar kosmetika jalan raya.
Demikianlah. Keberlangsungan seluruh kerja kebudayaan untuk menghadapi dan mengatasi krisis kebudayaan itu barangkali sepenuhnya tergantung apakah kita semua mau dan mampu mengadakan perubahan mendasar tersebut dengan penuh kesabaran.Wallahu’alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar