WISATA BUDAYA


Pesarehan Gunung Kawi

Gunung Kawi merupakan salah satu tempat wisata ritual yang terletak pada ketinggian 2.860 meter dari permukaan laut di Provinsi Jawa Timur, Kabupaten Malang, Kecamatan Wonosari, Desa Wonosari.
Secara geografis pesarean Gunung Kawi berada disebelah barat kota Malang, kira-kira ± 53 Km dari kota Malang, arah Malang selatan ke kota Kepanjen, dan dari kota Kepanjen menuju arah utara ke wisata Gunung Kawi.
Memasuki wilayah area wisata ritual Gunung Kawi yang berada di pusat kota kecamatan Wonosari, tampak dua patung raksasa sebagai penyambut di gerbang jalan raya dengan tugu bertuliskan 'Selamat Datang'. Kemudian masuk melalui gapura 1 kemudian gapura 2 dan gapura 3 hingga berada di pelataran pesarean Gunung Kawi.

Gapura Menuju Gunung KawiDesa Wonosari terletak di lereng Gunung Kawi sebelah selatan yang merupakan hasil pemekaran dari Desa Kebobang, Kecamatan Ngajum pada tahun 1986, . Namanya berubah menjadi Wonosari karena di tempat ini terdapat obyek wisata spiritual. Wono diartikan sebagai hutan, sedangkan Sari berarti inti. Namun bagi warga setempat, Wonosari dimaksudkan sebagai pusat atau tempat yang mendatangkan rezeki. Kecamatan Wonosari memiliki luas hampir 67 kilometer persegi, tempat ini berkembang menjadi daerah tujuan wisata ziarah sejak tahun 1980-an.
Keberadaan Desa Wonosari yang merupakan Desa Wisata Ritual, yang banyak dikujungi oleh wisatawan domestik maupun mancanegara, yang lebih dikenal dengan Wisata Ritual Gunung Kawi, adapun kehidupan sosial masyarakatnya masih berpegang teguh pada istiadat dan budaya sebagai warisan leluhur yang dipertahankan hingga sekarang.

Pada umumnya masyarakat Desa Wonosari bermata pencaharian sebagai petani dan wirausaha yang berkaitan dengan Wisata Ritual Gunung Kawi. Dengan berkembangnya Wisata Ritual Gunung Kawi yang disertai dengan beragam budaya yang agamis, maka pada Tahun 2002 oleh pemerintahan kabupaten Malang dicanangkan dan ditetapkan sebagai “Desa Wisata Ritual Gunung Kawi”.

SEJARAH PESAREHAN GUNUNG KAWI


Gunung Kawi
Kronologi sejarah wisata ritual Gunung Kawi dimulai pada tahun 1830, setelah Pangeran Diponegoro menyerah pada Belanda. Banyak pengikutnya dan pendukungnya yang melarikan diri ke arah bagian timur pulau Jawa yaitu Jawa Timur. Di antaranya selaku penasehat spiritual Pangeran Diponegoro yang bernama Eyang Djoego atau Kyai Zakaria. Beliau pergi ke berbagai daerah di antaranya Pati, Begelen, Tuban, lalu pergi ke arah Timur Selatan (Tenggara) ke daerah Malang yaitu Kepanjen.

Pengambaranya mencapai daerah Kesamben Blitar, tepatnya di dusun Djoego, Desa Sanan, Kecamatan Kesamben, Kabupaten Blitar. Diperkirakan beliau sampai di Dusun Djoego sekitar ± tahun 1840, beliau di dusun Djoego ditemani sesepuh Desa Sanan bernama Ki Tasiman. Setelah beliau berdiam di dusun Djoego Desa Sanan beberapa tahun antara dekade tahun 1840-1850 maka datanglah murid-muridnya yang juga putra angkat beliau yang bernama R.M. Jonet atau yang lebih dikenal dengan R.M. Iman Soedjono, beliau ini adalah salah satu dari para senopati Pangeran Diponegoro yang ikut melarikan diri ke daerah timur pulau jawa yaitu Jawa Timur, dalam pengembaraanya beliau telah menemukan seorang guru dan juga sebagai ayah angkat di daerah Kesamben, Kabupaten Blitar tepatnya didusun Djoego Desa Sanan, yaitu Panembahan Eyang Djoego atau Kyai Zakaria, kemudian R.M. Iman Soedjono berdiam di dusun Djoego untuk membantu Eyang Djoego dalam mengelola Padepokan Djoego.

Pada waktu itu Padepokan Djoego telah berkembang, banyak pengunjung menjadi murid Kanjeng Eyang Djoego. Beberapa tahun kemudian ± tahun 1850-1860, datanglah murid R.M. Iman Soedjono yang bernama Ki Moeridun dari Warungasem Pekalongan. Demikianlah setelah R.M.Iman Soedjono dan Ki Moeridun berdiam di Padepokan Djoego, beberapa waktu kemudian diperintahkan pergi ke Gunung Kawi di lereng sebelah selatan, untuk membuka hutan lereng selatan Gunung Kawi. Kanjeng Eyang Djoego berpesan bahwa di tempat pembukaan hutan itulah beliau ingin dikramatkan (dimakamkan), beliau juga berpesan bahwa di desa itulah kelak akan menjadi desa yang ramai dan menjadi tempat pengungsian (imigran).


Gapura Pesarean Gunung Kawi

Dengan demikian maka berangkatlah R.M. Iman Soedjono bersama Ki Moeridun disertai beberapa murid Eyang Djoego berjumlah ± 40 orang, di antaranya : Mbah Suro Wates, Mbah Kaji Dulsalam (Birowo), Mbah Saiupan (Nyawangan), Mbah Kaji Kasan Anwar (Mendit-Malang), Mbah Suryo Ngalam Tambak Segoro, Mbah Tugu Drono, Ki Kromorejo, Ki Kromosari, Ki Haji Mustofa, Ki Haji Mustoha, Mbah Dawud, Mbah Belo, Mbah Wonosari, Den Suryo, Mbah Tasiman, Mbah Tundonegoro, Mbah Bantinegoro, Mbah Sainem, Mbah Sipat / Tjan Thian (kebangsaan Cina), Mbah Cakar Buwono, Mbah Kijan / Tan Giok Tjwa (asal Ciang Ciu Hay Teng- RRC). Maka berangkatlah R.M. Iman Soedjono dengan Ki Moeridun dan dibekali dua buah pusaka “Kudi Caluk dan Kudi Pecok” dengan membawa bekal secukupnya beserta tokoh-tokoh yang telah disebutkan namanya ditambah 20 orang sebagai penderek (pengikut), dan sebagai orang yang dipercaya untuk memimpin rombongan dan pembukaan hutan dipercayakan pada Mbah Wonosari.

Setelah segala kebutuhan pembekalan lengkap maka, berangkatlah rombongan itu untuk babat hutan lereng sebelah selatan Gunung Kawi dengan pimpinan Mbah Wonosari. Setelah sampai dilereng selatan Gunung Kawi, rombongan beristirahat kemudian melanjutkan babat hutan dan bertemu dengan batu yang banyak dikerumuni semut sampai pertumpang-tumpang kemudian tempat itu dinamakan Tumpang Rejo. Setelah itu perjalanan diteruskan ke arah utara. Di sebuah jalan menanjak (jurang) dekat dengan pohon Lo (sebangsa pohon Gondang), mereka berhenti dan membuat Pawon (perapian). Lama-kelamaan menjadi menjadi sebuah dusun yang dinamakan Lopawon. Kemudian mereka melanjutkan babat hutan menuju arah utara sampai ke sebuah hutan dan bertemu sebuah Gendok (barang pecah belah untuk merebus jamu) yang terbuat dari tembaga, sehingga lama-kelamaan dinamakan dusun Gendogo. Setelah itu melenjutkan perjalanan ke arah barat dan beristirahat dengan memakan bekal bersama-sama kemudian melihat pohon Bulu (sebangsa pohon apak/beringin) tumbuh berjajar dengan pohon nangka. Kemudian hutan itu disebut dengan Buluangko dan sekarang disebut dengan hutan Blongko. Selesai makan bekal perjalanan dilanjutkan kearah barat sampai disebuah Gumuk (bukit kecil) yang puncaknya datar lalu dibabat untuk tempat darung (tempat untuk beristirahat dan menginap selama melakukan pekerjaan babat hutan, tempat istirahat sementara), kemudian tempat itu ditanami dua buah pohon kelapa. Anehnya pohon kelapa yang satu tumbuh bercabang dua dan yang satunya tumbuh doyong/tidak tegak ke atas, sehingga tempat itu dinamakan Klopopang (pohon kelapa yang bercabang dua). Kemudian, setelah mendapatkan tempat istirahat (darung) pembabatan hutan diteruskan ke arah selatan sampai di daerah tugu (sekarang merupakan tempat untuk menyadran yang dikenal dengan nama Mbah Tugu Drono) dan diteruskan ke timur sampai berbatasan dengan hutan Bulongko, kemudian naik keutara sampai sungai yang sekarang ini dinamakan Kali Gedong, lalu kebarat sampai dekat dengan sumbersari.

Selesai semuanya kemudian membuat rumah untuk menetap juga sebagai padepokan, di rumah itulah R.M. Iman Soedjono dengan Ki Moeridun beserta seluruh anggota rombongan berunding untuk memberi nama tanah babatan itu. Karena yang memimpin pembabatan hutan itu bernama Ki Wonosari, kemudian disepakati nama daerah babatan itu bernama dusun Wonosari. Karena pembabatan hutan dilereng selatan Gunung Kawi dianggap selesai, maka diutuslah salah satu pendereknya (pengikut) untuk pulang ke dusun Djoego, Desa Sanan Kesamben, untuk melapor kepada Eyang Djoego bahwa pembabatan hutan dilereng selatan Gunung Kawi telah selesai dilakukan. Setelah mendengar laporan dari utusan R.M. Iman Soedjono tersebut maka berangkatlah Kanjeng Eyang Djoego ke dusun Wonosari di lereng selatan Gunung Kawi yang baru selesai.

Makam Pesarean
Untuk memberikan petunjuk-petunjuk dan mengatur siapa saja yang harus menetap di dusun Wonosari dan siapa saja yang harus pulang ke Dusun Djoego dan juga beliau berpesan bahwa bila beliau wafat agar dimakamkan (kramatkan) di sebuah bukit kecil (Gumuk) yang diberi nama Gumuk Gajah Mungkur. Dengan adanya petunjuk itu lalu dibuatlah sebuah taman sari yang letaknya berada ditengah antara padepokan dan Gumuk Gajah Mungkur yang dulu terkenal dengan nama tamanan (sekarang tempat berdirinya masjid Agung Iman Soedjono). Tokoh-tokoh yang menetap di dusun Wonosari diantaranya ialah : Kanjeng Eyang R.M. Iman Soedjono, Ki Moeridun, Mbah Bantu Negoro, Mbah Tuhu Drono, Mbah Kromo Rejo, Mbah Kromo Sasi, Mbah Sainem, Kyai Haji Mustofa, Kyai Haji Muntoha, Mbah Belo, Mbah Sifat / TjanThian, Mbah Suryo Ngalam Tambak Segoro, Mbah Kijan / Tan Giok Tjwa.

Demikian di antaranya yang tinggal di Dusun Wonosari yang baru jadi, yang lain ikut Kanjeng Eyang Djoego ke Dusun Djoego, Desa Sanan, Kesamben, Blitar. Dengan demikian Kanjeng Eyang Djoego sering melakukan perjalanan bolak-balik dari dusun Djoego–Sanan–Kesamben ke Dusun Wonosari Gunung Kawi, untuk memberikan murid-muridnya wejangan dan petunjuknya yang berada di Wonosari Gunung Kawi.

Pada hari Senin Pahing tanggal Satu Selo Tahun 1817 M, Kanjeng Eyang Djoego wafat. Jenasahnya dibawa dari Dusun Djoego Kesamben ke dusun Wonosari Gunung Kawi, untuk dimakamkan sesuai permintaan beliau yaitu di gumuk (bukit) Gajah Mungkur di selatan Gunung Kawi, kemudian tiba di Gunung Kawi pada hari Rabu Wage malam, dan dikeramat (dimakamkan) pada hari Kamis Kliwon pagi.
Dengan wafatnya Kanjeng Eyang Djoego pada hari Senin Pahing, maka pada setiap hari Senin Pahing diadakan sesaji dan selamatan oleh Kanjeng Eyang R.M. Iman Soedjono. Apabila, hari Senin Pahing tepat pada bulan Selo (bulan Jawa ke sebelas), maka selamatan diikuti oleh seluruh penduduk Desa Wonosari yang dilakukan pada pagi harinya. Kegiatan ini sampai sekarang terkenal dengan nama Barikan.

Sejak meninggalnya Kanjeng Eyang Djoego, Dusun Wonosari menjadi banyak pengunjung, dan banyak pula para pendatang yang menetap di Dusun Wonosari. Dikala itulah datang serombongan pendatang untuk ikut babat hutan (membuka lahan di hutan). Oleh Eyang R.M. Iman Soedjono diarahkan ke barat Dusun Wonosari rombongan pendatang itu berasal dari babatan Kapurono yang dipimpin oleh : Mbah Kasan Sengut (daerah asal Bhangelan),Mbah Kasan Mubarot (tetap menetap di babatan Kapurono), Mbah Kasan Murdot (ikut Mbah Kasan Sengut),Mbah Kasan Munadi (ikut Mbah Kasan Sengut).

Rombongan itu juga diikuti temannya bernama Mbah Modin Boani yang berasal dari Bangkalan Madura, bersama temannya Mbah Dul Amat juga berasal dari Madura, juga diikuti Mbah Ngatijan dari Singosari beserta teman-temannya.

Dengan demikian Dusun Wonosari bertambah luas dan penduduknya bertambah banyak pula. Dengan bertambah luasnya dusun dan bertambah banyaknya jumlah penduduk, maka diadakan musyawarah untuk mengangkat seorang pamong yang bisa menjadi panutan masyarakat dalam mengelola dusunnya yang masih baru itu. Maka ditunjuklah salah seorang abdi Mbah Eyang R.M.Iman Soedjono yang bernama Mbah Warsiman sebagai bayan. Dengan demikian Mbah Warsiman merupakan pamong pertama dari Dusun Wonosari.

Pada masa Mbah Eyang R.M. Iman Soedjono antara tahun 1871-1876, datang seorang wanita berkebangsaan Belanda bernama Ny. Scuhuller (seorang putri Residen Kediri) datang ke Wonosari Gunung Kawi untuk berobat kepada Eyang R.M Iman Soedjono. Setelah sembuh Ny. Schuller tidak pulang ke Kediri melainkan menetap di Wonosari dan mengabdi pada Eyang R.M. Iman Soedjono sampai beliau wafat pada tahun 1876. Setelah sepeninggal Eyang R.M. Iman Soedjono, Ny Schuller kemudian pulang ke Kediri.

Pada tahun 1931 datang seorang Tiong Hwa yang bernama Ta Kie Yam (Pek Yam) untuk berziarah di Gunung Kawi. Pek Yam merasa tenang hidup di Gunung Kawi dan akhirnya dia menetap didusun Wonosari untuk ikut mengabdi kepada Kanjeng Eyang (Mbah Djoego dan R.M. Soedjono) dengan cara membangun jalan dari pesarehan sampai kebawah dekat stamplat. Pek Yam pada waktu itu dibantu oleh beberapa orang temannya dari Surabaya dan juga ada seorang dari Singapura. Setelah jalan itu jadi, kemudian dilengkapi dengan beberapa gapura, mulai dari stanplat sampai dengan sarehan. Pada hari Rabu Kliwon tahun 1876 Masehi, Kanjeng Eyang R.M. Iman Soedjono wafat, dan dimakamkan berjajar dengan makam Kanjeng Mbah Djoego di Gumuk Gajah Mungkur. Sejak meninggalnya Eyang R.M. Iman Soejono, Dusun Wonosari bertambah ramai.
Hal-Hal Unik di Area Wisata Ritual Gunung Kawi

Ada banyak hal unik yang berhubungan dengan kepercayaan yang dapat kita temukan di Gunung Kawi. Masuk ke area Pesarean Gunung Kawi, kita seperti berada di lokasi kota Tionghoa jaman dulu. Nuansa Tionghoa begitu kental di sekitar bangunan yang ada. Selain itu semua pelayan Pesarean Gunung Kawi juga mengenakan adat pakaian jawa. Semakin menambah suasana yang khas jika kita berada di sini.
Selain pesarean sebagai fokus utama tujuan para pengunjung, terdapat tempat-tempat lain yang dikunjungi karena ‘dikeramatkan’ dan dipercaya mempunyai kekuatan magis untuk mendatangkan keberuntungan, antara lain:



Pesarean Eyang Djugo dan Eyang Soedjo

a. Rumah Padepokan Eyang Sujo

Rumah padepokan ini semula dikuasakan kepada pengikut terdekat Eyang Sujo yang bernama Ki Maridun. Di tempat ini terdapat berbagai peninggalan yang dikeramatkan milik Eyang Sujo, antara lain adalah bantal dan guling yang berbahan batang pohon kelapa, serta tombak pusaka semasa perang Diponegoro.







Guci Kuno

b. Guci Kuno

Dua buah guci kuno merupakan peninggalan Eyang Jugo. Pada jaman dulu guci kuno ini dipakai untuk menyimpan air suci untuk pengobatan. Masyarakat sering menyebutnya dengan nama ‘janjam’. Mungkin ingin menganalogkan dengan air zamzam dari Padang Arafah yang memiliki aneka khasiat. Guci kuno ini sekarang diletakkan di samping kiri pesarean. Masyarakat meyakini bahwa dengan meminum air dari guci ini akan membikin seseorang menjadi awet muda.








c. Pohon Dewandaru

Di area pesarean, terdapat pohon yang dianggap akan mendatangkan keberuntungan. Pohon ini disebut pohon dewandaru, pohon kesabaran. Pohon yang termasuk jenis cereme Belanda ini oleh orang Tionghoa disebut sebagai shian-to atau pohon dewa. Eyang Jugo dan Eyang Sujo menanam pohon ini sebagai perlambang daerah ini aman. Untuk mendapat ’simbol perantara kekayaan’, para peziarah menunggu dahan, buah dan daun jatuh dari pohon. Begitu ada yang jatuh, mereka langsung berebut. Untuk memanfaatkannya sebagai azimat, biasanya daun itu dibungkus dengan selembar uang kemudian disimpan ke dalam dompet. Namun, untuk mendapatkan daun dan buah dewandaru diperlukan kesabaran. Hitungannya bukan hanya, jam, bisa berhari-hari, bahkan berbulan-bulan. Bila harapan mereka terkabul, para peziarah akan
datang lagi ke tempat ini untuk melakukan syukuran.



d. Jiam Si

Bila kita masuk ke klenteng, maka kita bisa melakukan Jiam Si, yaitu sebuah ritual “Meramal Nasib” dimana kita akan disuruh untuk mengocok sebuah wadah yang berisi petunjuk-petunjuk nasib kita sampai salah satu diantaranya terjatuh ke lantai, maka itulah yang menjadi “peruntungan” kita pada periode ini. Bila kita merasa bingung dengan artinya, karena kebanyakan kata-kata didalam lembar itu dikatakan secara abstrak, maka kita dapat menggunakan jasa penterjemah yang ada di bagian depan klenteng untuk mengartikan apa yang sebetulnya menjadi maksud dari lembar tersebut.

MITOS SEPUTAR PESUGIHAN GUNUNG KAWI


Gunung Kawi memang dikenal sebagai tempat untuk mencari kekayaan (pesugihan). Konon, barang siapa melakukan ritual dengan rasa kepasrahan dan pengharapan yang tinggi maka akan terkabul permintaanya, terutama menyangkut tentang kekayaan. Mitos ini diyakini banyak orang, terutama oleh mereka yang sudah merasakan “berkah” berziarah ke Gunung Kawi. Namun bagi kalangan rasionalis-positivis, hal ini merupakan isapan jempol belaka.
Memang kekayaan merupakan hal yang paling dicari oleh masyarakat, kekayaan dianggap masyarakat dapat membawa manusia dalam keberkahan dan kehidupan yang kekal abadi dalam mendapatkan kebahagiaan materiil. Hal-hal tersebutlah yang saat ini menjadi stigma masyarakat ketika hendak berkunjung ke Gunung Kawi. Ritual untuk mencari kekayaan (pesugihan) telah tertanam di dalam pikiran masyarakat, bahwa Gunung Kawi sebagai sarana obyek realisasi dari simbol kemakmuran untuk mencari kekayaan.
Hal tersebut saat ini memang tidak dapat dipungkiri dari sejarah awal adanya Gunung Kawi dengan tempat-tempat ziarah makamnya. Di Gunung Kawi terdapat makam pesarean Eyang Kyai Zakaria II atau Eyang Djoego dan Raden Mas Imam Soedjono atau Eyang Soedjo. Mereka berdua adalah pengikut Pangeran Diponegoro dan kedua tokoh tersebut adalah orang Islam, tetapi hampir 90% pengunjung pesarean tersebut adalah etnis Tionghoa (China) yang kebanyakan dari mereka bahkan secara keseluruhan adalah bukan beragama islam, tetapi mereka justru rajin untuk berkunjung ke pesarean tersebut, khususnya pada hari-hari pasaran Jawa, yaitu Jumat Legi, Senin Pahing, Syuro dan Tahun Baru (baik kalender China maupun Jawa).
Hal-hal yang melatarbelakangi para etnis Tionghoa rajin untuk berziarah ialah tidak lain karena nenek moyang mereka yang bernama Ta Kie Yam (Pek Yam) merupakan murid kesayangan Eyang Soedjo. Itu sebabnya, meski Mpek Yam telah meninggal 44 tahun lalu, kawasan Pesarean Gunung Kawi, terutama Kuil Kwan Im dan kediaman Mpek Yam, menjadi tempat tujuan warga keturunan Tionghoa. Sebagai hormat mereka kepada nenek moyangnya, maka mereka rajin berziarah kubur di kedua pesarean tersebut. Ziarah kubur tesebut juga merupakan salah satu rasa terima kasih dan pengabdian para etnis Tionghua kepada Eyang Soedjo yang telah menyayangi Pek Yam. Bentuk rasa terima kasih mereka sampaikan dengan berdoa dan bersyukur kepada kedua pesarean tersebut. Rasa syukur tersebut tidak lepas dari keinginan yang tertanam dalam pemikiran masyarakat Tionghua itu sendiri untuk mendapatkan berkah dari ziarah pesarean tersebut, sehingga dengan adanya kepercayaan yang tertanam kepada mereka itu atau bisa disebut dengan sugesti maka akan mendapatkan berkah dan kemakmuran jika semakin sering berziarah.
Landasan dasar inilah yang kemudian oleh masyarakat menjadi sebuah stigma yang dominan bahwa berkunjung di Gunung Kawi ialah mencari pesugihan (kekayaan). Memang tidak dapat dipungkiri, jika dilihat dari kacamata Sosiologi landasan pemikiran masyarakat tersebut juga membawa keberkahan bagi masyarakat di sekitar Gunung Kawi, karena perekonomian mereka secara berlahan meningkat dengan adanya makam pesarean tersebut. Kedua makam pesarean tersebut banyak dikunjungi oleh para wisatawan yang ingin berziarah atau sekedar berkunjung melihat pluralitas agama yang terdapat di Gunung Kawi, yang mayoritas dikunjungi oleh masyarakat etnis Tionghua.
Di sisi lain landasan dasar tersebut tidak dapat sepenuhnya bisa diterima secara harfiah ketika mereka yang bermukim di Gunung Kawi, tetapi mereka itu tidak bekerja untuk mencari nafkah penghidupan mereka, baik jasa maupun barang yang mereka tawarkan, tetap saja mereka tidak bisa mendapatkan kemakmuran, meski mereka bertahun-tahun tinggal di sekitar Gunung Kawi. Sugesti yang ada di dalam pemikiran masyarakat Tionghoa sedikit banyak pasti juga ada usaha yang dilakukan, sehingga stigma yang beredar dalam pemikiran masyarakat bahwa Gunung Kawi tempat mencari kekayaan (pesugihan) tidak sepenuhnya benar jika tanpa usaha yang secara nyata dilakukan, jadi mitos mencari kekayaan (pesugihan) tidak merupakan isapan jempol belaka. Keindahan Gunung Kawi serta pluralitas budayalah yang menjadi daya tarik Wisata Ritual Gunung Kawi selain keberadaan makam pesarean Eyang Kyai Zakaria II atau Eyang Djoego dan Raden Mas Imam Soedjono atau Eyang Soedjo. Mitos Gunung Kawi dan Komodifikasi Budaya




Pesarean Gunung Kawi 
Menggali data dan keterangan tentang sebuah fenomena dan fakta sosial, sekaligus mitos bahwa Gunung Kawi merupakan tempat untuk mencari kekayaan dalam dimensi spiritual.
Gunung Kawi terletak pada ketinggian 2.860 meter dari permukaan laut,
terletak di Kabupaten Malang, Jawa Timur, tepatnya di Kecamatan
Wonosari, sekitar 40 km sebelah barat Kota Malang. Dulu daerah ini
disebut Ngajum. Namanya berubah menjadi Wonosari karena di tempat ini terdapat obyek wisata spiritual. Wono diartikan sebagai hutan, sedangkan Sari berarti inti. Namun bagi warga setempat, Wonosari dimaksudkan sebagai pusat atau tempat yang mendatangkan rezeki.
Kecamatan Wonosari memiliki luas hampir 67 kilometer persegi, dengan jumlah penduduk 43 ribu jiwa. Tempat ini berkembang menjadi daerah tujuan wisata ziarah sejak tahun 1980-an.
Sebenarnya bukanlah Gunung Kawi-nya yang membuat tempat ini terkenal,
tetapi adanya sebuah kompleks pemakaman di lereng selatan yang dikeramatkan, yaitu makam Eyang Kyai Zakaria alias Eyang Jugo, dan Raden Mas Imam Sujono, alias Eyang Sujo. Penduduk setempat menyebut area pemakaman tersebut dengan nama "Pesarean Gunung Kawi". Pesarean yang terletak di ketinggian sekitar 800 m ini walaupun berada di lereng gunung, namun mudah dijangkau, karena selain jalannya bagus,
banyak angkutan umum yang menuju ke sana. Dari terminal Desa
Wonosari, perjalanan diteruskan dengan berjalan mendaki menyusuri
jalan bertangga semen yang berjarak kira-kira 750 m. Sepanjang
perjalanan mendaki ini dapat dijumpai restoran, hotel, kios souvenir
dan lapak-lapak yang menjual perlengkapan ritual. Setelah melewati
beberapa gerbang, di ujung jalan didapati sebuah gapura, pintu masuk
makam keramat. Makam yang menjadi pusat dari kompleks Pesarean Gunung Kawi. Makam yang menjadi magnet untuk menarik puluhan ribu orang datang setiap tahunnya.

Mitos Pesugihan

Gunung Kawi memang dikenal sebagai tempat untuk mencari kekayaan
(pesugihan). Konon, barang siapa melakukan ritual dengan rasa
kepasrahan dan pengharapan yang tinggi maka akan terkabul
permintaanya, terutama menyangkut tentang kekayaan.

Mitos ini diyakini banyak orang, terutama oleh mereka yang sudah
merasakan "berkah" berziarah ke Gunung Kawi. Namun bagi kalangan
rasionalis-positivis, hal ini merupakan isapan jempol belaka.

Mitos dalam bahasa sehari-hari diartikan sebagai cerita bohong, kepalsuan, dan hal-hal yang berbau dongeng (tahayul). Dalam bahasa Inggris, myth yang mengadopsi bahasa Latin mythus berarti penuturan khayali belaka.
Antropolog memandang mitos sebagai sesuatu yang diperlukan manusia untuk menjelaskan alam lingkungan di sekitarnya, dan juga sejarah masa lampaunya. Dalam hal ini, mitos dianggap sebagai semacam pelukisan atas kenyataan dalam bentuk yang disederhanakan sehingga dipahami oleh awam (Ruslani, 2006: 5). Namun mitos, bagi kalangan penganut strukturalisme-fungsional juga dianggap penting karena berfungsi sebagai penyedia rasa makna hidup yang membuat orang yang bersangkutan tidak menjadi sia-sia hidupnya. Perasaan bahwa hidup ini berguna dan bertujuan lebih tinggi daripada pengalaman keseharian merupakan unsur penting dalam kebahagiaan.
Biasanya lonjakan masyarakat yang melakukan ritual terjadi pada hari
Jumat Legi ( hari pemakaman Eyang Jugo) dan tanggal 12 bulan Suro (memperingati wafatnya Eyang Sujo). Ritual dilakukan dengan meletakkan sesaji, membakar dupa, dan bersemedi selama berjam-jam,
berhari-hari, bahkan hingga berbulan-bulan.
Di dalam bangunan makam, pengunjung tidak boleh memikirkan sesuatu yang tidak baik serta disarankan untuk mandi keramas sebelum berdoa di depan makam. Hal ini menunjukkan simbol bahwa pengunjung harus suci lahir dan batin sebelum berdoa.
Selain pesarean sebagai fokus utama tujuan para pengunjung, terdapat tempat-tempat lain yang dikunjungi karena 'dikeramatkan' dan dipercaya mempunyai kekuatan magis untuk mendatangakan keberuntungan, antara lain:

1. Rumah Padepokan Eyang Sujo
Rumah padepokan ini semula dikuasakan kepada pengikut terdekat Eyang Sujo yang bernama Ki Maridun. Di tempat ini terdapat berbagai peninggalan yang dikeramatkan milik Eyang Sujo, antara lain adalah bantal dan guling yang berbahan batang pohon kelapa, serta tombak pusaka semasa perang Diponegoro.

2. Guci Kuno
Dua buah guci kuno merupakan peninggalan Eyang Jugo. Pada jaman dulu guci kuno ini dipakai untuk menyimpan air suci untuk pengobatan. Masyarakat sering menyebutnya dengan nama 'janjam'. Mungkin ingin menganalogkan dengan air zamzam dari Padang Arafah yang memiliki
aneka khasiat. Guci kuno ini sekarang diletakkan di samping kiri pesarean. Masyarakat meyakini bahwa dengan meminum air dari guci ini akan membikin seseorang menjadi awet muda.

3. Pohon Dewandaru
Di area pesarean, terdapat pohon yang dianggap akan mendatangkan keberuntungan. Pohon ini disebut pohon dewandaru, pohon kesabaran.Pohon yang termasuk jenis cereme Belanda ini oleh orang Tionghoa disebut sebagai shian-to atau pohon dewa. Eyang Jugo dan Eyang Sujo menanam pohon ini sebagai perlambang daerah ini aman. Untuk mendapat 'simbol perantara kekayaan', para peziarah menunggu dahan, buah dan daun jatuh dari pohon. Begitu ada yang jatuh, mereka langsung berebut. Untuk memanfaatkannya sebagai azimat, biasanya daun itu dibungkus dengan selembar uang kemudian disimpan ke dalam dompet. Namun, untuk mendapatkan daun dan buah dewandaru diperlukan kesabaran. Hitungannya bukan hanya, jam, bisa berhari-hari, bahkan
berbulan-bulan. Bila harapan mereka terkabul, para peziarah akan datang lagi ke tempat ini untuk melakukan syukuran.

Pejuang Diponegoro
Siapakah sesungguhnya Eyang Jugo dan Eyang Sujo, yang dimakamkan dalam satu liang lahat di pesarean Gunung Kawi ini? Menurut Soeryowidagdo (1989), Eyang Jugo atau Kyai Zakaria II dan Eyang Sujo atau Raden Mas Iman Sudjono adalah bhayangkara terdekat Pangeran Diponegoro. Pada tahun 1830 saat perjuangan terpecah belah oleh siasat kompeni, dan Pangeran Diponegoro tertangkap kemudian diasingkan ke Makasar, Eyang Jugo dan Eyang Sujo mengasingkan diri ke
wilayah Gunung Kawi ini.

Semenjak itu mereka berdua tidak lagi berjuang dengan mengangkat senjata, tetapi mengubah perjuangan melalui pendidikan. Kedua mantan bhayangkara balatentara Pangeran Diponegoro ini, selain berdakwah agama islam dan mengajarkan ajaran moral kejawen, juga mengajarkan cara bercocok tanam, pengobatan, olah kanuragan serta ketrampilan lain yang berguna bagi penduduk setempat. Perbuatan dan karya mereka sangat dihargai oleh penduduk di daerah tersebut, sehingga banyak masyarakat dari daerah kabupaten Malang dan Blitar datang ke padepokan mereka untuk menjadi murid atau pengikutnya.

Setelah Eyang Jugo meninggal tahun 1871, dan menyusul Eyang Iman Sujo tahun 1876, para murid dan pengikutnya tetap menghormatinya. Setiap tahun, para keturunan, pengikut dan juga para peziarah lain datang ke makam mereka melakukan peringatan. Setiap malam Jumat Legi, malam
meninggalnya Eyang Jugo, dan juga peringatan wafatnya Eyang Sujo setiap tanggal 1 bulan Suro (muharram), di tempat ini selalu diadakan perayaan tahlil akbar dan upacara ritual lainnya. Upacara ini biasanya dipimpin oleh juru kunci makam yang masih merupakan para keturunan Eyang Sujo.

Tidak ada persyaratan khusus untuk berziarah ke tempat ini, hanya membawa bunga sesaji, dan menyisipkan uang secara sukarela. Namun para peziarah yakin, semakin banyak mengeluarkan uang atau sesaji, semakin banyak berkah yang akan didapat. Untuk masuk ke makam keramat, para peziarah bersikap seperti hendak menghadap raja, mereka berjalan dengan lutut.

Hingga dewasa ini pesarean tersebut telah banyak dikunjungi oleh berbagai kalangan dari berbagai lapisan masyarakat. Mereka bukan saja berasal dari daerah Malang, Surabaya, atau daerah lain yang berdekatan dengan lokasi pesarean, tetapi juga dari berbagai penjuru tanah air. Heterogenitas pengunjung seperti ini mengindikasikan bahwa sosok kedua tokoh ini adalah tokoh yang kharismatik dan populis.

Namun di sisi lain, motif para pengunjung yang datang ke pesarean inipun sangat beragam pula. Ada yang hanya sekedar berwisata, mendoakan leluhur, melakukan penelitian ilmiah, dan yang paling umum adalah kunjungan ziarah untuk memanjatkan doa agar keinginan lekas terkabul.


Ritual dalam Komodifikasi Budaya

Pada setiap malam Satu Suro (Muharram), area Pesarean Gunung Kawi dikunjungi oleh ribuan orang peziarah dari berbagai kota dan daerah telah berdatangan sejak sore hari. Mereka memenuhi penginapan-penginapan yang memang banyak terdapat di daerah sekitar pesarean (makam). Sambil beristirahat, mereka menunggu saat datangnya tengah malam di mana berbagai upacara ritual akan diselenggarakan. Para pedagang bunga, kemenyan, lilin, hio (dupa) dan perlengkapan sesaji lainnya sibuk melayani para peziarah. Sementara itu beberapa ibu-ibu menggoreng ratusan ekor ayam utuh yang dipesan para peziarah untuk upacara sesaji malam harinya.

Seiring dengan itu pada keesokan harinya diadakan kirab sesaji dan
pembakaran patung simbol sangkala (Bathara Kala). Bencana yang terus
menerus melanda bumi Indonesia membuat masyarakat prihatin. Sikap prihatin inipun diungkapkan dalam prosesi kirab sesaji di pesarean Eyang Jugo dan Eyang Sujo melalui upacara pembakaran patung sangkala atau ogoh-ogoh. Patung sangkala atau ogoh-ogoh, dikenal sebagai simbol keangkaramurkaan dan malapetaka. Dengan dibakarnya patung ini, diharapkan sifat keangkaramurkaan dan malapetaka bisa lenyap dari bumi pertiwi. Prosesi kirab ini diikuti oleh seluruh elemen masyarakat Wonosari, diawali dengan kirab sesaji dari lapangan desa setempat kemudian diarak berjalan menuju ke pesarean. Di akhir prosesi, patung sangkala dibakar oleh Kepala Desa Wonosari, sementara pengusung patung, yang memakai pakaian serba hitam, menari-nari layaknya kesetanan.

Melihat potret suasana tersebut, Pesarean Gunung Kawi lebih mirip pasar raya dari pada sebuah kompleks pemakaman. Pertunjukan wayang kulit, musik dangdut, serta barongsai pun ikut meramaikan suasana. Kesan seram, angker, dan tempat mencari kekayaan yang seperti yang
dibayangkan, pada saat itu seolah tenggelam oleh hingar-bingar para pengunjung.

Ketika zaman berubah, motif spiritual juga terus bergeser. Dengan dalih estetika, nampaknya pihak pemerintah daerah setempat merasa perubahan `tampilan' upacara ritual sudah merupakan kebutuhan. Dengan diciptakannya upacara ritual yang semakin meriah. Banyak yang bernilai jual di sana-sini. Fungsi latennya sudah bisa ditebak, yaitu agar upacara ritual bisa lebih enak ditonton, berselera pasar, dan selanjutnya bisa mendongkrak pendapatan daerah (marketable). Tak peduli apakah kreasi ini meninggalkan sisi nilai-nilai ritual atau mengabaikan makna bagi komunitas pemiliknya. Kondisi semacam ini menurut Theodore Adorno dan Horkheimer bisa disebut sebagai komodifikasi budaya (Agger, 2006: 179). Kedua tokoh aliran sosiologi kritis asal Jerman ini melihat bahwa budaya di era kapital serta industrialisasi ini telah menjelma sebagai sebuah komoditas. Artinya, suatu fenomena budaya akan diproduksi terus menerus dan dimodifikasi untuk memperoleh keuntungan.

Etnis Tionghoa dan Pesan Multikultural

Dengan berjalannya waktu, sekarang boleh dibilang lebih banyak masyarakat Tionghoa yang datang berziarah daripada masyarakat Jawa sendiri. Bahkan dalam hari-hari tertentu, seperti hari raya Imlek dan Tahun Baru Islam, jumlah masyarakat Tionghoa yang datang berziarah jauh lebih banyak daripada masyarakat Jawa sendiri.
Keikutsertaan warga Tionghoa dalam lingkungan perziarahan di Pesarean Gunung Kawi sebenarnya dimulai dari seorang yang bernama Tan Kie Lam. Pada waktu itu ia sempat diobati dan disembuhkan oleh Eyang Sujo berkat air guci wasiat peninggalan Eyang Jugo. Kemudian, Tan Kie Lam pun ikut berguru di padepokan gunung kawi dan tinggal di sana. Sebagai seorang Tionghoa, ia mungkin merasa kurang pas dengan ikut
cara ritual masyarakat Jawa. Akhirnya, ia mendirikan sebuah "kelenteng kecil"-nya sendiri untuk bersembahyang dan untuk menghormati kedua almarhum gurunya.

Tetapi yang membuat Pesarean Gunung Kawi ini terkenal adalah seorang Tionghoa yang kemudian menjadi pediri perusahaan rokok Bentoel - sebuah perusahaan rokok besar yang pernah berdiri di Malang. Konon, sang pendiri PT. Bentoel ini, ketika itu datang untuk berguru olah- kanuragan di padepokan Gunung Kawi. Tetapi oleh sang juru kunci niat itu ditolak dengan alasan bahwa ia tidak pantas menjadi seorang pendekar, tetapi lebih cocok menjadi pedagang saja. Sang juru kunci lantas menyarankan ia pulang saja, sambil membekalinya dua batang bentoel (umbi-umbian).

Sesampai di rumah, ia berpikir bahwa oleh-oleh dua batang bentoel ini pasti punya arti. Akhirnya, ia menggunakan Cap Bentoel sebagai merk usahanya. Berkat kegigihan dan kerja kerasnya, perusahan rokok Cap Bentoel maju pesat. Dan sebagai tanda terima kasih dan baktinya terhadap Eyang Jugo dan Eyang Sudjo, ia membagun jalan dan prasarana- prasarana di kompleks Pesarean Gunung Kawi tersebut.

Rupanya, kabar hubungan antara kesuksesan Rokok Bentoel dan pesarean Gunung Kawi dengan cepat menyebar luas di kalangan masyarakat Tionghoa. Akibatnya banyak masyarakat Tionghoa berbondong-bondong datang ke sana. Selain mengikuti upacara ritual standar Islam-Kejawen yang dilakukan oleh para juru kunci makam, para peziarah Tionghoa juga melakukan ritual tionghoanya. Segera saja klenteng kecil buatan Tan Kie Lam dirasa tak bisa lagi menampung membanjirnya kaum Tionghoa yang ingin bersembahyang. Untuk itu dibangunlah tiga buah kelenteng kecil yang letaknya lebih dekat lagi dengan makam. Di ketiga kelenteng ini diisi oleh Dewa Bumi Ti Kong, Dewi Kwan Im, dan kelenteng khusus untuk Ciam-si (ramalan). Sering terlihat lilin-lilin merah besar yang tingginya 2m atau lebih berjejalan memenuhi kelenteng ini. Di atas sampul plastik lilin-lilin tersebut biasanya tertulis permohonan dari perusahaan atau keluarga tertentu. Sedangkan
di areal pesarean dibangun sebuah masjid yang cukup megah, yang menurut petugas pemandu merupakan sumbangan seorang konglomerat di Indonesia.

Memang, kecuali dalam pendopo makam, di hampir semua tempat di kompleks makam yang dikeramatkan oleh masyarakat Jawa, seperti Padepokan Eyang Iman Sujono, bekas rumah tinggal Tan Kie Lam, dan pemandian Sumber Manggis, semuanya juga diletakkan altar ritulal khas Tionghoa. Bahkan kedua Eyang mendapat julukan dalam bahasa Tionghoa. Eyang Djego disebut Taw Low She atau Guru Besar Pertama, sedangkan Djie Low She atau Guru Besar Kedua adalah sebutan untuk Eyang Iman Sujo.

Hasil akhirnya, sekarang kompleks pesarean Gunung Kawi menjadi tempat percampuran budaya dan ritual khas Jawa dan Tionghoa. Bagi mereka yang pertama kali datang ke gunung kawi pastilah akan mengkerutkan dahi melihat apa yang terjadi di sini.

Adalah menjadi pemandangan rutin di kelenteng Gunung Kawi bila melihat seorang Jawa bersarung dan bertopi haji dengan khitmatnya bersoja dengan hio di tangan, sementara di sampingnya seorang ibu berkerudung sedang dengan penuh konsentrasi mengocok bambu ramalan
(ciam-si). Dan kalau diperhatikan, ternyata para `petugas kelenteng' gunung Kawi ini pun ternyata kebanyakan adalah warga Jawa.

Pada setiap upacara perayaan ritual, setelah lepas malam, para peziarah Jawa dan Tionghoa larut dalam kegiatannya. Mereka berjalan berlawanan arah jarum jam mengelilingi pendopo sebanyak tujuh kali, dengan setiap saat berhenti di depan pintu sisi utara, timur, selatan dan barat, sambil menghormat ke dalam makam.

Sementara itu, di dalam pendopo makam dipenuhi para peziarah Jawa dan Tionghoa yang memiliki niatan khusus. Sambil membawa bunga dan kemenyan, mereka dengan sabar menunggu giliran didoakan di depan nisan oleh para asisten juru kunci. Setelah doa dalam bahasa Jawa dan Arab digumamkan, biasanya para peziarah akan mendapat "bunga layon" (bunga layu) yang sudah ditaburkan dari makam. Khabarnya bunga tersebut memiliki khasiat pembawa rezeki dan pengobatan. Uniknya, banyak peziarah yang menempatkan bunga tersebut di kantong merah dan kuning yang bergambar lambang Pakua dan bertuliskan huruf Tionghoa. Yang merah cocok untuk ditempatkan di tempat usaha, sedangkan yang kuning di bawa pulang untuk digantung di dalam rumah.

Berbaurnya unsur budaya dalam sebuah ritual antara budaya Jawa dan Tionghoa ini terlihat mencolok lagi pada peringatan Malam Satu Suro lalu. Dalam kompleks pemakaman tersebut, tempat pertunjukan wayang kulit dengan lakon tertentu sering dipesan oleh warga Tionghoa sebagai hajat nadarnya. Sedangkan pada acara yang sama beberapa warga masyarakat Jawa berpartisipasi memberikan angpau atau malah menjadi bagian dari penari barongsai yang sedang beraksi.

Dalam kacamata budaya, ada hal yang menarik dalam fenomena ini. Mayoritas pelaku ritual adalah penduduk asli yang berpakaian adat Jawa Timuran sambil membawa tandu-tandu berisisi aneka sesembahan, namun di tengah iring-iringan warga Jawa dan Tionghoa yang juga
diiringi tarian Jawa ini menyelip juga barongsai, tarian singa khas Tionghoa. Entah apakah peristiwa semacam ini pernah terlintas di benak oleh Eyang Jugo dan Eyang Iman Sujo semasa hidupnya. Tapi yang jelas, upacara semacam ini dapat menjadi pemersatu antaretnis yang membawa pesan multikultural, yakni kerukunan dan perdamaian.




  BROMO

Sejarah, Agama dan Tradisi Suku Tengger Gunung Bromo
    Oleh: Alpha Savitri

Suku Tengger yang beragama Hindu hidup di wilayah Gunung Bromo, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Pada tahun 1985 jumlah mereka sekitar 40 ribu. Ada banyak makna yang dikandung dari kata Tengger. Secara etimologis,
Tengger berarti berdiri tegak, diam tanpa bergerak (Jawa). Bila dikaitkan dengan adat dan kepercayaan, arti tengger adalah tengering budi luhur. Artinya tanda
bahwa warganya memiliki budi luhur. Makna lainnya adalah: daerah pegunungan. Tengger memang berada pada lereng pegunungan Tengger dan Semeru. Ada pula pengaitan tengger dengan mitos masyarakat tentang suami istri cikal bakal penghuni wilayah Tengger, yakni Rara Anteng dan Joko Seger. Selain itu, di wilayah ini terdapat pula cerita tentang Sejarah Gunung Batok, Lautan Pasir, Kawah Bromo. Kisah
lainnya menyangkut Ajisaka aksara Jawa, juga kisah Klambi Antrakusuma. Sejarah Tengger dari sisi ilmiah erat kaitannya dengan Prasasti Tengger bertahun 851 Saka (929 Masehi), diperkuat Prasasti Penanjakan bertahun 1324 Saka (1402 Masehi). Disebutkan sebuah desa bernama Wandalit yang terletak di pegunungan Tengger dihuni oleh Hulun Hyang (hamba Tuhan = orang-orang yang taat beragama) yang daerah sekitarnya disebut hila-hila (Suci). Karena itulah kawasan Tengger merupakan tanah perdikan istimewa yang dibebaskan dari pembayaran pajak oleh pusat pemerintahan di Majapahit.
Masyarakat Tengger dikenal luas beragama Hindu, berpadu dengan kepercayaan tradisional. Hindu masyarakat Tengger berbeda dengan Hindu di Bali. Perbedaannya antara lain, Hindu Tengger tidak mengenal ngaben sebagai upacara kematian sebagaimana di Bali.
Nancy J. Smith, seorang peneliti menyatakan, mantra-mantra yang dipakai dalam upacara mirip juga dengan mantra Budha sehingga masyarakat luas juga menyatakan bahwa suku Tengger beragama Budha. Namun menurut Nancy,
Budha di sini bukan dalam pengertian agama, melainkan istilah yang lazim dipakai masyarakat Jawa untuk menyebut agama sebelum Islam. Memang, pada zaman Majapahit diakui ada dua agama, yakni Hindu dan Budha. Pada abad ke-14 setelah masuknya Islam, kata “Budha” dipakai untuk orang yang belum
menganut Islam.

Kaum Tengger dikenal taat beribadah dan menjalankan adat istiadat dengan baik. Tak heran banyak cerita lama, mitos, dan legenda dari daerah ini. Ilmuwan
Asing pun juga menelusuri sejarah Masyarakat Tengger.
Masyarakat Tengger menghayati sesanti “Titi Luri” ((“Titi Luri”, berarti mengikuti jejak para leluhur atau meneruskan Agama, Kepercayaan dan Adat-istiadat nenek moyang secara turun temurun). Jadi Setiap upacara dilakukan tanpa perubahan, persis seperti yang dilaksanakan oleh para leluhurnya berabad-abad yang lalu Masyarakat Tengger dikenal jujur, patuh, dan rajin bekerja. Mereka hidup sederhana, tenteram, dan damai. Tidak terbatas laki-laki, namun wanitapun juga, yang dewasa maupun anak-anak, semua berkain sarung.

I. Nenek Moyang Kaum Tengger: Rara Anteng dan Jaka Seger
Sebagaimana disebut di atas, Tengger biasa dikaitkan juga dengan mitos
masyarakat tentang suami istri yang merupakan cikal bakal penghuni wilayah
Tengger, yakni Rara Anteng dan Joko Seger. Sehingga bila nama keduanya
diringkas menjadi: Tengger.
Alkisah, pada zaman dahulu,
ada seorang putri Raja
Brawijaya dengan Permaisuri
Kerajaan Majapahit. Namanya
Rara Anteng. Karena situasi
kerajaan memburuk, Rara
Anteng mencari tempat hidup
yang lebih aman. Ia dan para
punggawanya pergi ke
Pegunungan Tengger. Di
Desa Krajan, ia singgah satu
windu, kemudian melanjutkan perjalanan ke Pananjakan. Ia menetap di
Pananjakan dan mulai bercocok tanam. Rara Anteng kemudian diangkat anak
oleh Resi Dadap, seorang pendeta yang bermukim di Pegunungan Bromo.
Sementara itu, Kediri juga kacau sebagai akibat situasi politik di Majapahit. Joko
Seger, putra seorang brahmana, mengasingkan diri ke Desa Kedawung sambil
mencari pamannya yang tinggal di dekat Gunung Bromo. Di desa ini, Joko Seger
mendapatkan informasi adanya orang-orang Majapahit yang menetap di
Pananjakan. Joko Seger pun melanjutkan perjalanannya sampai Pananjakan.
Sendratari Rara Anteng – Joko Seger

Joko Seger tersesat dan bertemu Rara Anteng yang segera mengajaknya ke
kediamannya. Sesampai di kediamannya, Rara Anteng dituduh telah berbuat
serong dengan Joko Seger oleh para pinisepuhnya. Joko Seger membela Rara
Anteng dan menyatakan hal itu tidak benar, kemudian melamar gadis itu.
Lamaran diterima. Resi Dadap Putih mengesahkan perkawinan mereka.
Sewindu sudah perkawinan itu namun tak juga mereka dikaruniai anak. Mereka
bertapa 6 tahun dan setiap tahun berganti
arah. Sang Hyang Widi Wasa menanggapi
semedi mereka. Dari puncak Gunung Bromo
keluar semburan cahaya yang kemudian
menyusup ke dalam jiwa Rara Anteng dan
Joko Seger. Ada pawisik mereka akan
dikaruniai anak, namun anak terakhir harus
dikorbankan di kawah Gunung Bromo.
Pasangan ini dikarunia 25 anak sesuai permohonan mereka, karena wilayah
Tengger penduduknya sangat sedikit. Putra terakhir bernama R Kusuma.
Bertahun-tahun kemudian Gunung Bromo mengeluarkan semburan api sebagai
tanda janji harus ditepati. Suami istri itu tak rela mengorbankan anak bungsu
mereka. R Kusuma kemudian disembunyikan di sekitar Desa Ngadas. Namun
semburan api itu sampai juga di Ngadas. R Kusuma lantas pergi ke kawah
Gunung Bromo. Dari kawah terdengar suara R Kusuma supaya saudarasaudaranya
hidup rukun. Ia rela berkorban sebagai wakil saudara-saudaranya
dan masyarakat setempat. Ia berpesan, setiap tanggal 14 Kesada, minta upeti
hasil bumi. Cerita lain menunjukkan saudara-saudara R Kusuma menjadi penjaga
tempat-tempat lain.
Maka setiap tanggal 14 bulan purnama di bulan Kasada, dikirimilah Raden
Kusuma beragam hasil ladang ke kawah Gunung Bromo. Upacara persembahan
tersebut menjadi tradisi yang diselenggarakan secara turun temurun hingga
sekarang yang diberi nama Yadnya Kasada.
Dukun selalu meriwayatkan kisah Joko Seger – Rara Anteng.
Berikut ini nama-nama 25 anak Joko Seger – Rara Anteng. Mereka dihubungkan
dengan tempat-tempat yang dianggap keramat di Bromo dan sekitarnya.
1. Tumenggung Klewung (Gunung Ringgit)
2. Sinta Wiji (Gunung Kidangan)
3. Ki Baru Klinting (Lemah Kuning)
4. Ki Rawit (Gunung Sumber Semani)
Sendratari Rara Anteng – Joko Seger

5. Jinting Jinah (Gunung Jinahan)
6. Ical (Gunung Pranten)
7. Prabu Siwah (Gunung Lingga)
8. Cokro Pranoto Aminoto (Gunung Gendera)
9. Tunggul Wulung (Cemoro Lawang)
10. Tumenggung Klinter (Gunung Penanjakan)
11. Raden Bagus Waris (Watu Balang)
12. Ki Dukun (Watu Wungkuk)
13. Ki Pranoto (Poten)
14. Ni Perniti (Gunung Bajangan)
15. Petung Supit (Tunggukan)
16. Raden Mas Sigit (Gunung Batok)
17. Puspa Ki Gentong (Widodaren)
18. Kaki Teku Niti Teku (Guyangan)
19. Ki Dadung Awuk (Banyu Pakis)
20. Ki Demeling (Pusung Lingker)
21. Ki Sindu Jaya (Wonongkoro)
22. Raden Sapujagad (Pundak Lemdu)
23. Ki Jenggot (Rujag)
24. Demang Diningrat (Gunung Semeru)
25. Raden Kusuma (Gunung Bromo)

II. Sejarah Gunung Batok, Lautan Pasir, Kawah Bromo
Di wilayah pegunungan di Tengger, kita mengenal adanya Gunung Batok,
Lautan Pasir, dan Kawah Gunung Bromo yang terkenal. Ternyata mereka
punya asal-usul dan sejarah dalam bentuk legenda. Dan legenda tersebut nggak
jauh-jauh dari tokoh Rara Anteng.
Sebelum Rara Anteng dinikahi Joko Seger, terdapat Kyai Bima, penjahat sakti
yang naksir. Rara Anteng tidak bisa menolak begitu saja lamaran itu. Ia
menerimanya dengan syarat, Kyai Bima membuatkan lautan di atas gunung dan
selesai dalam waktu semalam.
Kyai Bima menyanggupi persyaratan tersebut dan bekerja keras menggali tanah
untuk membuat lautan dengan menggunakan tempurung (batok) yang bekasnya
sampai sekarang menjadi Gunung Bathok, dan lautan pasir (segara wedhi)
terhampar luas di sekitar puncak Gunung Bromo. Untuk mengairi lautan pasir
tersebut, dibuatnya sumur raksasa, yang bekasnya sekarang menjadi kawah
Gunung Bromo.
Rara Anteng cemas melihat kesaktian dan kenekatan Kyai Bima. Ia segera
mencari akal untuk menggagalkan minat Kyai Bima atas dirinya. Ia pun

menumbuk jagung keras-keras seolah fajar telah menyingsing, padahal masih
malam. Mendengar suara orang menumbuk jagung, ayam-ayam bangun dan
berkokok. Begitu pula burung. Kyai Bima terkejut. Dikira fajar telah menyingsing.
Pekerjaannya belum selesai. Kyai Bima lantas meninggalkan Bukit Penanjakan. Ia
meninggalkan tanda-tanda:
1.Segara Wedhi, yakni hamparan pasir di bawah Gunung Bromo
2.Gunung Batok, yakni sebuah bukit yang terletak di selatan Gunung Bromo,
berbentuk seperti tempurung yang ditengkurapkan.
3.Gundukan tanah yang tersebar di daerah Tengger, yaitu: Gunung Pundaklembu,
Gunung Ringgit, Gunung Lingga. Gunung Gendera, dan lain-lain.

III. Kisah Baju Antrakusuma
Tersebutlah dua orang bernama Mbah Tunggak dan Mbah Tampa. Mereka
bertapa di Gua Purwana, sebelah timur pedukuhan Baledono. Saat tengah
malam mereka melihat benda di angkasa. Benda itu mereka ikuti. Akhirnya
benda itu turun di Tunggul Wulung, kurang lebih 1 km dari Tosari ke arah
Ngadiwono. Benda itu berhasil dipegang, namun lepas dan terbang kembali. Saat
itu benda yang ternyata Baju Antrakusuma tersebut berkata: aku gelem
dienggo, ning rumaten sing apik (aku mau dipakai, tapi pelihara dengan baik).
Kini benda itu tak ada lagi. Konon dijual Dukun Tosari bernama Pak Kamar. Saat
meninggal jasad Pak Kamar hancur membusuk dalam waktu singkat.
Istilah Antrakusuma dipakai di Kabupaten Pasuruan: Tosari, Wonokitri, Sedaeng,
Ngadiwono. Sedangkan istilah Antakusuma dipakai di Kabupaten Probolinggo,
seperti Ngadas, Ngadisari, dan Sukapura.

IV. Dukun: Pimpinan Agama dan Adat
Kepala kelompok-kelompok masyarakat disebut Dukun. Dukun sebagai pimpinan
Agama sekaligus sebagai Kepala
Adat, bertugas dan bertanggung
jawab memimpin upacaraupacara
adat. Dalam menunaikan
tugasnya, Dukun dibantu oleh
beberapa orang petugas yaitu:
 Wong Sepuh, bertugas
sebagai pembantu dalam
menyiapkan sesaji upacaraupacara
kematian.
 Legen, bertugas membantu
Penobatan Tamu Kehormatan

mempersiapkan peralatan dan sesaji pada upacara perkawinan.
 Dukun Sunat, bertugas melaksanakan khitanan anak laki-laki menjelang umur
remaja. Khitan bagi anak laki-laki Tengger berbeda dengan khitan dalam
Agama Islam. Khitan anak laki-laki Tengger hanya sekedar memotong sedikit
kulit ujung penis.
 Dukun Bayi, bertugas menolong ibu yang akan melahirkan.
Memperhatikan betapa pentingnya peran dukun bagi Masyarakat Tengger, maka
ditetapkan setiap desa dikepalai seorang Dukun. Dukun dipilih oleh warga
dengan persyaratan tertentu, yaitu :
(1). Laki-laki sudah menikah,
(2). Keturunan Dukun / titisan darah,
(3). Dapat menguasai semua mantera / adat istiadat.
Ujian calon Dukun dilakukan di Poten tempat upacara adat dan dilaksanakan
bertepatan dengan Yadnya Kasada.

V. Macam-macam Upacara Adat Suku Tengger
V.1. Upacara Kasada
Upacara ini sangat terkenal di kalangan wisatawan. Bromo seolah identik dengan
Kasada. Padahal masih banyak upacara penting lain untuk Suku Tengger.
Kesada merupakan hari penting untuk memperingati kemenangan Dharma
melawan Adharma. Upacara ini dilakukan pada tanggal 14 dan 15 bulan Purnama
pada bulan keduabelas. Inilah yang disebut Kasada. Pelaksanaannya di Lautan
Pasir, sisi Utara kaki Gunung Batok, dan upacara pengorbanannya di tepi kawah
Puncak Bromo.
Upacara ini sering disebut sebagai upacara Kurban. Biasanya lima hari sebelum
upacara Yadnya Kasada, diadakan berbagai tontonan seperti; tari-tarian, balapan
kuda di lautan pasir,
jalan santai, pameran.
Menurut Prof. Dr,
Simanhadi
Widyaprakosa,
akademisi yang
meneliti tengger,
dalam bukunya
Masyarakat Tengger,
Latar Belakang Daerah
Taman Nasional
Bromo, sesajen
persembahan disebut
Ongkek terdiri dari 30
macam buah-buahan dan kue. Ongkek inilah yang akan dibuang di kawah
Pulang Mengambil "Air Suci" dari Gowa
gunung Widodaren

Gunung Bromo. Bahan pembuatan ongkek diambil dari desa yang selama
setahun tidak memiliki warga yang meninggal.
Upacara Kasada juga dipakai untuk mewisuda calon dukun baru. Disebut Diksa
Widhi. Di samping itu ada pula upacara penyucian umat yang disebut palukatan.
V.2. Upacara Karo
Upacara ini bertujuan untuk kembali ke Satyayoga, yakni kesucian. Upacara Karo
juga merupakan upacara besar. Paling besar setelah Kasada.
Masyarakat Tengger mempercayai, pada Hari Raya Karo inilah Sang Hyang Widhi
Wasa (Tuhan YME) menciptakan “Karo”, yakni dua manusia berjenis lelaki dan
perempuan sebagai leluhurnya, yakni Rara Anteng dan Jaka Seger.
Upacara Karo dilaksanakan 12 hari. Masyarakat Tengger mengenakan pakaian
baru, perabot baru. Makanan dan minuman melimpah pada hari raya mereka.
Antarkeluarga saling mengunjungi.
Tujuan penyelenggaraan upacara karo adalah: Mengadakan pemujaan terhadap
Sang Hyang Widi Wasa dan menghormati leluhurnya. Memperingati asal usul
manusia. Untuk kembali pada kesucian. Untuk memusnahkan angkara murka.
Upacara Karo di Bromo selalu dihubungkan dengan Legenda Ajisaka sebagai
refleksi sifat dan sikap kejujuran sebagaimana manusia di Zaman Satya Yoga.
Alkisah, pada zaman dahulu (diperkirakan abad pertama masehi), ada seorang
pengembara sakti bernama Saka yang baru saja menyelesaikan pelajaran
susastra di padepokan yang dipimpin resi. Dua murid yang menyertainya adalah:
Dora dan Sembada.
Mereka mengembara menembus hutan belantara, singgah di tempat-tempat
suci. Akhirnya, sampailah mereka pada sebuah pulau yakni Majesti. Pulau ini
sangat indah dan menenteramkan. Karena perjalanan masih panjang sedangkan
bawaan berharga sangat banyak, Saka mengadakan undian untuk menentukan
siapa yang harus menjaga barang-barang tersebut. Ternyata yang harus
menjaga barang adalah Dora. Sebelum berangkat Ajisaka menitipkan Keris
Sarutama. Ia berpesan, janganlah keris itu diberikan pada siapa pun kecuali ia.
Saka dan Sembada meneruskan perjalanan dan sampai ke Pulau Jawa. Di pulau
ini mereka bertemu suami istri yang tua dan tidak memiliki anak. Saka dan
Sembada tinggal bersama mereka dan diangkat sebagai anak. Di Medang tempat
mereka tinggal, terdapat raja raksasa bernama Dewata Cengkar, yang memiliki
kebiasaan buruk, yaitu makan daging manusia setiap hari. Rakyat harus setor
bergiliran padanya.
Tiba giliran orangtua Saka untuk mengirim seorang korban. Sang ibu akan
dikorbankan karena keluarga tersebut tidak memiliki anak. Saka mendengar

berita itu dan bersedia menjadi pengganti. Berangkatlah ia ke Medang untuk
menjadi korban.
Sampai di Medang, Saka diterima patih dan diantar ke Dewata Cengkar. Melihat
pemuda tampan dan sehat, bukan main senangnya Dewata Cengkar. Sebelum
dijadikan korban, Saka meminta agar kedua orangtua angkatnya diberi tanah
seluas ikat kepalanya dan pemberian itu disaksikan rakyat. Permintaan itu
dikabulkan. Maka, digelarlah ikat kepala itu di atas tanah, disaksikan banyak
orang. Saka membuka lipatan ikat kepala. Ternyata lipatan itu tidak ada
habisnya, sampai di tepi laut Selatan. Dewata Cengkar tergiring terus pada
penggelaran lipatan tersebut sampai akhirnya sampai ke sebuah mulut tebing.
Jatuhlah ia.
Sepeninggal Dewata Cengkar, negara Medang dipimpin Saka dengan gelar Aji
Saka. Rakyat hidup bahagia.
Suatu hari Saka ingat meninggalkan Dora dan barang-barangnya. Diutuslah
Sembada untuk mengambil keris dan barang-barang lainnya. Sesampai di Pulau
Majesti, Sembada dan Dora saling melepas rindu. Sembada menyatakan niat
kedatangannya untuk mengambil keris dan barang-barang. Dora menolak
memberikan karena ia ingat pesan Saka untuk tidak memberikan keris itu kepada
siapa pun selain Aji Saka sendiri. Terjadilah adu mulut yang disusul perkelahian.
Mereka saling tusuk tanpa mempedulikan rasa sakit. Keduanya sama kuat, sama
jaya dan pada satu titik keduanya kelelahan dan mati bersama. Setelah mati,
Dora roboh ke barat dan Sembada roboh ke timur. Tidak ada yang menang dan
tidak ada yang kalah.
Setelah lama ditunggu muridnya tak kunjung muncul, Ajisaka sendiri menuju
Pulau Majesti. Ia melihat kenyataan dua utusannya meninggal dengan bekas
tusukan Pusaka Sarutama. Ajisaka tergerak menciptakan aksara jawa untuk
memperingati pengabdian dua muridnya. Bunyinya:
Hanacaraka: Ada utusan
Datasawala: Saling bertengkar
Padhajayanya: Sama-sama berjaya (kuat dan sakti)
Magabathanga: Mereka menjadi bangkai.
V.3. Upacara Unan-Unan
Upacara ini setiap lima tahun sekali. Dalam upacara ini selalu diadakan
penyembelihan binatang ternak yaitu Kerbau. Kepala Kerbau dan kulitnya
diletakkan diatas ancak besar yang terbuat dari bambu, diarak ke sanggar
pamujan.

Unan-unan berasal dari istilah tuna alias rugi. Unan-unan berarti melengkapi
kerugian dengan upacara. Apa sih yang dianggap rugi? Ini berhubungan dengan
perhitungan hari orang-orang Tengger. Ada hari-hari yang harus digabungkan
sehingga dianggap rugi.
Indosiar.com melansir, Unan-unan juga dipakai sebagai sarana mengusir
makhluk halus sekaligus untuk menyelamatkan desa dari malapetaka.
Unan - Unan menyempurnakan kekurangan atau perbuatan yang telah
merugikan kehidupan. Ritual Unan - Unan diawali dengan mengarak sesaji
berupa kepala kerbau dari Balai Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura,
Probolinggo menuju sanggar pemujaan ditempat pendiri desa (punden). Seluruh
tokoh agama, tokoh desa dan warga suku Tengger berpakaian adat ikut serta
dalam arak - arakan dengan diiringi gamelan Jawa dan tarian Reog.
Doa - doa dan mantra dibacakan sepanjang perjalanan menuju sanggar
pemujaan. Cara ini dilakukan agar seluruh makhluk halus tidak mengganggu
sepanjang ritual berlangsung. Setibanya disanggar pemujaan dukun dan para
tokoh adat mengambil tempat untuk melakukan sembahyangan dan memantrai
air suci.
Air suci itulah yang kemudian ditabur kepada seluruh peserta upacara adat,
sebagai simbol pengusiran kesilauan hidup.
Ritual Unan - Unan ternyata juga bertujuan menyempurnakan para arwah yang
belum sempurna untuk kembali ke alam asalnya.
Ritual Unan - Unan biasanya dilaksanakan serentak di lima desa disekitar lereng
Bromo, yaitu Desa Ngadisari, Jetak, Wonokriti, Wonokerso dan Sukapura.
V.4. Upacara Kapat
Upacara Kapat jatuh pada bulan keempat (papat) menurut tahun saka disebut
pujan kapat, bertujuan untuk memohon berkah keselamatan serta selamat
kiblat, yaitu pemujaan terhadap arah mata angin.
V.5. Upacara Kawulu
Upacara ini jatuh pada bulan kedelapan (wolu) tahun saka. Pujan Kawolu
sebagai penutupan megeng. Masyarakat mengirimkan sesaji ke kepala desa,
dengan tujuan untuk keselamatan bumi, air, api, angin, matahari, bulan dan
bintang.

V. 6. Upacara Kasanga
Upacara ini jatuh pada bulan sembilan (sanga) tahun saka. Masyarakat
berkeliling desa dengan membunyikan kentongan dan membawa obor. Upacara
diawali oleh para wanita yang mengantarkan sesaji ke rumah kepala desa, untuk
dimantrai oleh pendeta. Selanjutnya pendeta dan para sesepuh desa membentuk
barisan, berjalan mengelilingi desa. Tujuan upacara ini adalah memohon kepada
Sang Hyang Widi Wasa untuk keselamatan Masyarakat Tengger.
V.7. Upacara Mayu Desa
Upacara Mayu Desa yang dilakukan suku Tengger di Desa Wonokitri, Tosari,
Pasuruan, Jawa Timur, intinya ada dua, yakni Mayu Banyu dan Mayu Desa.
Sebagaimana dilansir beritabaru.com, Upacara tradisi Mayu Banyu dilakukan
untuk melestarikan sumber air sebagai sumber kehidupan warga suku Tengger
di Gunung Bromo. Sedangkan upacara tradisi Mayu Desa dilakukan agar warga
masyarakat serta desa yang ditinggalinya aman dari sengkala (bencana).
Upacara tradisi Mayu Banyu dan Mayu Desa dilakukan setiap lima tahun sekali.
Pelaksanaannya selalu dilakukan bertepatan dengan penutupan Hari Raya Karo,
yakni Hari Raya bagi suku Tengger di Gunung Bromo.
Upacara tradisi Mayu Desa masih tetap lestari di Desa Wonokitri, karena warga
tetap setia melaksanakannya, meski biayanya cukup besar bagi sebagian besar
petani di sana. Untuk menyelenggarakan upacara tradisi Mayu Desa di Wonokitri,
setiap kepala keluarga dikenai biaya Rp211.000, sedangkan jumlah KK di Desa
Wonokitri sebanyak 674 keluarga.
Prosesi upacara tradisi Mayu Desa dimulai dari Balai Desa Wonokitri. Seluruh
warga yang dipimpin para Dukun Pandita melakukan kirab keliling desa dengan
membawa berbagai sesaji di dalam banten, serta ancak.
Sejaji itu kemudian dibawa ke pura setempat untuk dibacakan mantera-mantera.
Kurban biasanya seekor kerbau dan dua ekor kambing. Kepala kerbaunya
ditanam di tengah simpang empat jalan desa. Sedangkan dua kepala kambing
dibuang ke jurang di perbatasan desa.
Berbagai sesaji yang telah dibacakan mantera di pura, juga dimakan para umat
yang mengikuti upacara traisi tersebut dan sebagian dibuang ke dasar jurang di
batas desa yang dianggap keramat. Yang menarik selain sesaji, dalam setiap
prosesi upacara juga disajikan tarian tradisional tandak, serta minuman bir.
Upacara tradisi Mayu Desa selain diawali dengan sembahyang di pura, juga
dilakukan upacara di tempat-tempat yang dianggap keramat bagi warga suku

Tengger di Desa Wonokitri, yakni di penampungan air yang dianggap sebagai
instalasi vital bagi warga suku Tengger, serta di jurang yang dianggap keramat. 

VI. Konsep tentang Manusia
Bagi kaum Tengger, konsep tentang manusia erat kaitannya dengan siklus
kehidupan: kehamilan dan kelahiran, perkawinan serta kematian. Momenmomen
itu selalu dirayakan dengan upacara adat.
VI.1. Hamil, Lahir, Pernikahan
Pada saat ibu hamil 7 bulan dirayakan dengan Upacara Sesayut. Kelahiran
disambut dengan upacara untuk memberitahukan tanah tempat kelahiran.
Cuplak Puser (lepas pusar), dirayakan dengan upacara Kekerik dan pada usia
4 tahun ditandai dengan upacara Tugel Kuncung (pemotongan rambut) bagi
anak perempuan dan Tugel Gombok bagi anak laki-laki.
Perkawinan kembali dirayakan dengan upacara Walagara. Perkawinan
merupakan sebuah peristiwa penting dalam kehidupan manusia, sebab
perkawinan bukan hanya menyangkut dua orang yang memadu cinta saja tetapi
perkawinan juga melibatkan dua keluarga dan masyarakat secara umum.
Menurut kepercayaan Masyarakat Tengger, peristiwa perkawinan juga diikuti
oleh arwah-arwah para leluhur kedua belah pihak. Sebelum upacara perkawinan
dimulai, didahului dengan acara nelasih atau ziarah kubur dan memberikan
tetamping atau sesaji.
Perkawinan Masyarakat Tengger umumnya masih berlaku antara kalangan
mereka sendiri (endogami). Bila calon mempelai wanita Tengger akan menikah
dengan pria non Tengger, maka pelaksanaanya harus mengikuti adat Tengger
dan menikah dengan acara agama Hindu. Kalau laki-laki Tengger menikah
dengan gadis di luar masyarakat Tengger (non Tengger), misalnya menikah
dengan gadis Islam, maka perkawinan boleh menurut agama Islam atau
sebaliknya. Meskipun ia telah menikah secara non Tengger, tetapi masih diakui
sebagai “sedulur” (keluarga) dan tetap dianggap sebagai warga Tengger.
Umumnya pemuda Tengger mencari jodoh atau istri sendiri. Hari perkawinan
tidak lepas dari perhitungan weton (hari kelahiran) calon mempelai seperti dalam
adapt perkawinan Jawa. Jumlah neptu kelahiran mempelai bila dibagi tiga tidak
boleh habis dan yang terbaik bila sisa dua. Tahap selanjutnya apabila kedua
orang tua telah setuju, maka calon mempelai laki-laki sendiri yang datang
melamar, diantar orang tuanya. Dalam lamaran tidak ada barang “peningset”
seperti pada masyarakat Jawa, sebab menurut anggapan mereka, peningset itu
merupakan barang pinjaman atau hutang. Biasanya sebelum hari perkawinan,
pihak keluarga mempelai laki-laki datang lagi ke rumah calon besan dengan

membawa beras dan bahan-bahan mentah lainnya. Pelaksanaan perkawinan
bertempat di rumah keluarga mempelai wanita, umumnya pada pagi hari.
Mempelai laki-laki duduk di sebelah kanan dukun, sedangkan wali mempelai
perempuan duduk di sebelah kirinya. Di depan mereka tersedia seperangkat
sesaji terdiri dari 5 piring jenang merah-putih, 1 piring arang-arang kambang, 7
piring nasi dan telur, satu sisir pisang ayu (pisang raja), 7 buah nasi golong dan
telur, uang secukupnya.
Sambil membaca mantra, tangan kiri dukun memegang tangan kanan wali,
tangan kanannya memegang tangan kanan mempelai laki-laki. Baik mempelai
laki-laki maupun wali disuruh menirukan ucapan dukun. Ada kalanya perkawinan
terpaksa dibatalkan karena sesuatu sebab, misalnya:
Karena hubungan keturunan yang masih dekat, misalnya satu canggah
(neneknya nenek).
 Dadung kepuntir. Contoh, A, B dan C masing-masing mempunyai anak lakilaki
dan juga anak perempuan. Mereka bukan keturunan satu canggah.
Tetapi kalau anak laki-laki A kawin mendapat anak perempuan B, anak lakilaki
B kawin dengan anak perempuan C dan anak laki-laki C kawin dengan
anak perempuan A, maka perkawinan semacam ini tidak diperbolehkan.
 Papakan Wali. Contohnya, A dan B masing-masing mempunyai anak laki-laki
dan perempuan. Anak laki-laki A kawin mendapat anak perempuan B dan
anak laki-laki B kawin mendapat anak perempuan A. Maka perkawinan
demikian disebut papagan wali dan tidak diijinkan.
 Kesandung watang atau kerubuhan gunung, bila akan dilakukan perkawinan
ada keluarga dekat yang meninggal dunia, maka perkawinan harus
dibatalkan.
VI.2. Kematian: Upacara Entas-entas
Masyarakat Hindu di Tengger
tidak mengenal pembakaran
mayat seperti di Bali, tetapi
melakukan pembakaran
boneka berpakaian yang
dilambangkan manusia yang
meninggal ditempat
pembakaran setelah mayat
dimakamkan.
Sesudah dimandikan dengan
air yang dimantrai oleh dukun,
mayat orang meninggal lalu dikafani kain putih tiga lapis, kemudian diusung
dengan ancak terbuat dari bambu, dikubur membujur ke timur dan terlentang.
Upacara Entas-entas

Selanjutnya diadakan upacara “misahi”, yaitu perpisahan antara orang yang
meninggal dengan keluarganya, dipimpin seorang dukun. Selanjutnya setelah 44
hari atau lebih diadakan Upacara “Entas-Entas”.
Upacara ini dimaksudkan untuk memohon ampun kepada Sang Maha Agung agar
arwah almarhum yang masih “Nglambrang” (melayang-layang tak menentu)
segera dapat masuk surga.
Pada upacara entas-entas ini dibuat boneka yang terbuat dari dedaunan, bunga
kenikir dan janur kuning yang menggambarkan jasad almarhum. Boneka
tersebut disebut petra. Petra diberi pakaian dari pakaian asli almarhum yang
dientas. Banyaknya petra yang dientas juga menurut jumlah orang yang
meninggal.
Dukun membacakan mantra pendahuluan selama lebih dari satu jam sambil
membunyikan genta kecil. Di depan dukun ada beberapa anak kecil tidak
memakai baju, dikerudungi kain putih. Jenis kelamin dan jumlah anak-anak
menurut jenis kelamin dan jumlah yang dientas. Selama dukun membaca
mantra, kira-kira baru separuhnya, ibu dukun dibantu beberapa lainnya menanak
nasi dengan api dari buah jarak.
Selanjutnya dukun membakar sedikit ujung rambut anak-anak tadi, lalu
menjarumi kain putih yang dijadikan kerudung. Dukun hanya menirukan gerakan
orang menjarum, tetapi tanpa benang. Setelah selesai, dukun menaruh beras
dikepala anak-anak tadi, kemudian mengambil itik dan ayam putih mulus,
dipatuk-patukan pada beras dikepala anak-anak tadi. Legen memecah buah
kelapa dengan parang didepan pintu rumah. Acara terakhir dibacakan mantra
penutup oleh dukun, kemudian petra-petra tersebut dibawa ke tempat danyang
(tempat peleburan) untuk dibakar. Rupanya pembakaran petra dimaksudkan
sebagai pengganti upacara ngaben.

VII. Lain-lain:
 Orang Tengger Mereka berbahasa Jawa Tengger, agak berbeda dengan
bahasa Jawa umumnya di Jawa Timur. Mereka mengenal semedi, puasa
ngebleng (tidak makan tidak minum sama sekali), puasa mutih (hanya makan
nasi putih dan air putih saja), yang biasa dilakukan oleh orang Jawa pada
masa lalu.
 Dasar perhitungan yang digunakan untuk tanggal, bulan dan nama hari,
nama bulan bersifat khas dan berlaku khusus bagi masyarakat Hindu di
Tengger. Meskipun sebulan berjumlah 30 hari seperti pada umumnya,
Masyarakat Tengger hanya mengenal tanggal 1 sampai tanggal 15.
Selanjutnya untuk tanggal 16 sampai tanggal 30 disebut panglong 1 sampai

panglong 15. Jadi perhitungan tanggal didasarkan pada munculnya bulan
Sabit hingga Bulan Penuh (Purnama). Tatkala bulan berjalan susut
(berkurang) yaitu sejak tanggal 16 sampai dengan 30 disebut panglong.
Urutan nama hari ia-lah : 1. Soma (Senin), 2. Anggara (Selasa), 3. Budha
(Rabu), 4. Wrespati (Kamis), 5. Sukra (Jum’at), 6. Tumpek (Sabtu), 7. Radite
(Minggu).
 Perhitungan tahun yang dipergunakan adalah Tahun Caka (Saka), 1 Tahun
354 hari terbagi atas 12 Bulan dengan nama-nama bulan sebagai berikut : 1.
Bulan Kasa, 2. Bulan Karo, 3. Bulan Katiga, 4. Bulan Kapat, 5. Bulan Kalima,
6. Bulan Kanem, 7. Bulan Kapitu, 8. Bulan Kawolu, 9. Bulan Kasanga, 10.Bulan Kasepuluh, 11. Bulan Desta, 12. Bulan Kasada.



KASADA
Bromo mempunyai Alam dan budaya yang sangat Indah, salah satu budaya di Bromo ini adalah pengangkatan Dukun / Tabib. mereka sangat dibutuhkan oleh masyarakat Tengger karena mereka bisa memimpin upacara adat, perkimpoian, menyembuhkan orang sakit, dan tujuan baik lainnya.

Bromo mempunyai pesona alam yang sangat luar biasa, tidak akan pernah habis kekaguman kita oleh pemandangan alam yang indah. Gunung Bromo berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti Brahma atau seorang dewa yang utama, gunung bromo ini merupakan gunung yang masih aktif dan objek pariwisata yang sangat terkenal diwilayah jawa Timur. Gunung bromo mempunyai ketinggian 2.400 meter diatas permukaan laut.

Padang Savana dialam pegunungan yang sangat sejuk, kita dapat melihat rerumputan kering dan padang pasir yang sangat luas. Yang sangat menarik dan indah pada saat matahari terbit yang kita lihat dari Puncak Gunung di Pananjakan, karena kabut yang menyelimuti bawah gunung bromo membuat panorama indah dan mistik.

Untuk mencapai gunung pananjakan kita dapat menyewa mobil hardtop yang banyak terdapat di penginapan. Atau jika anda ingin menikmati pemandangan secara alami dan sehat anda dapat melewati jalan setapak menunuju jalan penanjakan. Tetapi sangat disarankan anda menyewa guide yang sudah sangat terbiasa akan jalan dan medan di Bromo.

Selain itu juga Suku Tengger memiliki daya tarik yang luar biasa karena mereka sangat berpegang teguh pada adat istiadat dan budaya yang menjadi pedoman hidupnya. Pada tahun 1990 suku tengger tercatat berjumlah 50 ribu yang tinggal dilereng gunung Semeru dan disekitar kaldera. Mereka sangat dihormati oleh penduduk sekitar karena mereka sangat memegang teguh budaya mereka dengan hidup jujur dan tidak iri hati. Konon Suku tengger adalah keturunan Roro Anteng(putri Raja Majapahit) dan Joko Seger (putera brahmana). Bahasa daerah yang mereka gunakan sehari hari adalah bahasa jawa kuno. Mereka tidak memiliki kasta bahasa, sangat berbeda dengan Bahasa jawa yang dipakai umumnya karena mempunyai tingkatan bahasa.

Sejak Jaman Majapahit konon wilayah yang mereka huni adalah tempat suci, karena mereka dianggap abdi – abdi kerajaan Majapahit. Sampai saat ini mereka masih menganut agama hindu, Setahun sekali masyarakat tengger mengadakan upacara yadnya Kasada. Upacara ini berlokasi disebuah pura yang berada dibawah kaki gunung bromo. Dan setelah itu dilanjutkan kepuncak gunung bromo. Upacara dilakukan pada tengah malam hingga dini hari setiap bulan purnama dibulan kasodo menurut penanggalan jawa.

Tempat untuk mengadakan upacara kasada adalah Pura Luhur Poten Gunung Bromo, tidak seperti pemeluk hindu pada umumnya yang memiliki candi candi sebagai tempat ibadah. Namun poten merupakan sebidang tanah dilahan pasir sebagai tempat berlangsungnya upacara kasada. Asal usul upacara Kasada terjadi beberapa abad yang lalu “Pada masa pemerintahan Dinasti Brawijaya dari kerajaan Majapahit, permaisuri dikaruniai anak perempuan yang bernama Roro Anteng. Setelah beranjak dewasa sang Putri jatuh cinta kepada seorang pemuda anak dari Kasta Brahmana yang bernama Joko Seger. Pada saat Kerajaan Majapahit mengalami kemerosotan
dan semakin berkibarnya perkembangan Islam di P Jawa. Beberapa orang kepercayaan kerajaan dan sebagian keluarganya memutuskan pergi kewilayah timur. Dan sebagian besar ke kawasan pegunungan tengger, termasuk Roro Anteng dan Joko Seger. Setelah mereka menjadi penguasa diwilayah ini, mereka sangat sedih karena belum dikaruniai seorang anak. Berbagai macam cara mereka coba, sampai pada akhirnya mereka kepuncak Gunung Bromo untuk bersemedi.

Akhirnya permintaan mereka dikabulkan dengan munculnya suara gaib, dengan syarat anak bungsu mereka setelah lahir harus dikorbankan kekawah gunung bromo. Setelah mereka dikaruniai 25 orang anak, tiba saatnya mereka harus mengorbankan si bungsu. Tetapi mereka tidak tega melakukannya, karena hati nurani orang tua yang tidak tega membunuh anaknya. Akhirnya sang dewa marah dan menjilat anak bungsu tersebut masuk kekawah gunung, timbul suara dari si bungsu agar orang tua mereka hidup tenang beserta saudara-saudaranya. Dan tiap tahun untuk melakukan sesaji yang dibuang ke gunung bromo. Sampai sekarang adat istiadat ini dilakukan secara turun menurun.

Untuk dapat melihat upacara kasada bromo lebih baik kita datang sebelum tengah malam, karena ramainya persiapan para dukun. Hari hari upacara kasada bromo, banyak penduduk sekitar yang berdatangan. Baik mengendarai sepeda motor atau kendaraan pribadi lainnya. Sehingga mengakibatkan jalanan kebawah menuju kaki gunung sangat macet. Dan bisa membuat Mobil dari gerbang tidak bisa turun kebawah. Jalan lain kebawah yaitu anda berjalan dengan rombongan rombongan penduduk yang menuju pura. Karena jika sendiri dipastikan akan tersesat, karena kabut yang sangat tebal dan pandangan sangat terganggu.

Selain itu Upacara Kasada bromo juga dilakukan untuk mengangkat seorang Tabib atau dukun disetiap desa. Agar mereka dapat diangkat oleh para tetua adat, mereka harus bisa mengamalkan dan menghafal mantera mantera. Beberapa hari sebelum Upacara Kasada bromo dimulai, mereka mengerjakan sesaji sesaji yang nantinya akan dilemparkan ke Kawah Gunung Bromo. Pada malam ke 14 bulan Kasada Masyarakat tengger berbondong bondong dengan membawa ongkek yang berisi sesajo dari berbagai macam hasil pertanian dan ternak. Lalu mereka membawanya ke Pura dan sambil menunggu Dukun sepuh yang dihormati datang mereka kembali menghafal dan melafalkan mantera, tepat tengah malam diadakan pelantikan dukun dan pemberkatan umat dipoten lautan pasir gunung bromo. Bagi masyarakat Tengger, peranan Dukun adalah sangat penting. Karena mereka bertugas memimpin acara – acara ritual, perkimpoian dll. Sebelum lulus mereka diwajibkan lulus ujian dengan cara menghafal dan lancar dalam membaca mantra mantra.

Setelah Upacara selesai, ongkek – ongkek yang berisi sesaji dibawa dari kaki gunung bromo ke atas kawah. Dan mereka melemparkan kedalam kawah, sebagai simbol pengorbanan yang dilakukan oleh nenek moyang mereka. Didalam kawah banyak terdapat pengemis dan penduduk tengger yang tinggal dipedalaman, mereka jauh jauh hari datang ke gunung bromo dan mendirikan tempat tinggal dikawah gunung Bromo dengan harapan mereka mendapatkan sesaji yang dilempar. Penduduk yang melempar sesaji berbagai macam buah buahan dan hasil ternak, mereka menganggapnya sebagai kaul atau terima kasih mereka terhadap tuhan atas hasil ternak dan pertanian yang melimpah. Aktivitas penduduk tengger pedalaman yang berada dikawah gunung bromo dapat kita lihat dari malam sampai siang hari Kasada Bromo.
Bulan Kasepuluh, 11. Bulan Desta, 12. Bulan Kasada.